Senin, 12 September 2011

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS ESQ UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN REMAJA

PENDAHULUAN


Remaja adalah masa pertumbuhan ketiga yang dialami oleh manusia dalam kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga tua atau dewasa. Masa remaja menjadi pembatas antara masa kanak-kanak dengan masa pemuda. Remaja memiliki perasaan yang sensitif dan cepat tersentuh. (Syahid M. Az-za’balawi, 2007:2). Remaja dikatakan memiliki perasaan yang sensitif yaitu remaja memiliki sifat mudah tersinggung, emosi, mengekspresikan perasaan suka dengan berlebihan dan cenderung fanatik dengan apa yang dia senangi seperti senang terhadap artis maka ia akan mengikuti semua prilaku artis tersebut mulai dari cara makan, cara berbicara, cara berpakaian, kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik seperti narkoba, alkohol, seks bebas, aborsi dan berbagai kebiasaan buruk lainnya. Oleh karena hal tersebut remaja tidak punya prinsip dalam hidupnya atau mempunyai karakter tapi cendrung bersifat ikut-ikutan idolanya.
Pada masa ini, remaja mengalami krisis identitas atau pencarian identitas, proses pertangguhan dan pencapaian karakter. Dalam segala proses ini, didalamnya,  remaja mengalami dan merasakan banyak hal dari dalam dirinya yang menyebabkan berbagai efek pada kehidupan sosialnya baik efek positif maupun negatif. Dalam dirinya mereka mengalami apa yang disebut ketidakstabilan emosi, kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. Mereka umumnya jadi senang bereksperimentasi, senang bereksplorasi, mempunyai banyak fantasi, khayalan dan bualan. Hal tersebut menyebabkan adanya kegelisahan karena banyak hal yang diinginkan namun remaja tidak memiliki cukup kemampuan untuk merealisasikan semuanya. Selain itu ada juga situasi dimana mereka mengalami perasaan kosong karena adanya perombakan pandangan dan petunjuk hidup.[1]
Sebenarnya sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis dan sosial. Mereka yang tidak begitu mampu mengatasinya sangat perlu pengetahuan dan pendidikan lebih sebagai penuntun langkah-langkah mereka bagaimana harus mengambil keputusan akan langkah hidupnya. Dalam hal ini, orang tua memang harus berperan aktif. Namun karena pada usia ini adalah usia dimana remaja banyak menghabiskan waktunya dengan berinteraksi sosial dengan kehidupan diluar lingkungan keluarganya, yakni terutama lingkungan sekolah, maka perlu adanya pendidikan dan bimbingan dari pihak sekolah yang dinilai sangat mempengaruhi proses pembentukan karakter anak.
Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada pengembangan akal (IQ), padahal yang di perlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan kecerdasaran hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini menjadi penilaian baru (Ginanjar.A Ary, 2003:56). Program pendidikan baik Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya mempelajari pelajaran-pelajaran yang lebih banyak menggunakan otak atau IQ seperti berhitung, menjabarkan, menghafal, dan segala ilmu yang bersifat sains. Sedangkan kemampuan yang bersifat emosional dan spiritual kurang di kembangkan seperti kemampuan tenggang rasa, empati, jujur, komitmen, takut dan taat kepada Tuhan, taat pada hukum, dan lain sebagainya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa orang yang intelektualnya cerdas belum tentu akan berhasil dalam kehidupan pribadinya. Daniel Goleman menyatakan bahwa kesuksesan seseorang dalam kehidupan hanya kira-kira 20 % ditentukan oleh kecerdasan intelektual dan sisanya 80 % ditentukan oleh faktor-faktor yang lain. Sementara Agus Nggermanto menegaskan bahwa setidak-tidaknya 75 % kesuksesan manusia ditentukan oleh kecerdasan emosinya, hanya 4 % yang ditentukan IQ-nya. (Goze Isno : http://isnoe82.blogspot.com/2009).
Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau Value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makan yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi. (Denah Zohar dan Ian Marshall, Sq: Spititual Intelegence, Bloomsbury, Great Brian dalam buku Ary Ginanjar .A,  Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,  2003: 57).
Dari ketiga kecerdasan tersebut semua sangat diperlukan. Dari IQ manusia dapat berfikir secara logis dan sistematis, dari EQ manusia bisa berhubungan dengan orang lain karena manusia adalah mahluk sosial dan dengan SQ manusia bisa mengontrol diri karena dia merasa bahwa dirinya selalu diawasi oleh sang pencipta dan dia tahu bahwa Tuhan tidak menciptakannya secara sia-sia, dia diciptakan dengan kewajiban tertentu yang nanti akan dipertanggung jawabkannya dihari yang kekal.
Disayangkan sekali sekolah-sekolah hanya menerapakan pendidikan yang menekankan pada IQ, akibatnya banyak orang yang pintar dalam pelajaran, tapi tidak pintar dalam bergaul di masyakat. Namun banyak pula manusia yang pintar secara akademik dan pintar dalam segi sosial tapi menjadi koruptor berkelompok yang sangat merugikan negara. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kualitas kecerdasan spiritual mereka. Maka, ketiga kecerdasan ini harus diterapkan dalam pembelajaran di sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas karena pada masa-masa ini adalah masa remaja dimana manusia sedang dalam proses pencarian jati diri yang kemudian hal-hal yang mereka terima dan mereka olah akan membentuk karakter mereka. Karena proses vital inilah remaja perlu dibimbing dengan ilmu-ilmu yang mengasah kecerdasan emosional dan spiritual yang dirangkum dengan program pendidikan karakter berbasis ESQ. Dengan adanya pendidikan ini, para siswa yang hampir pasti adalah kaum remaja dapat terarah dalam melangkah menata masa depan sehingga dapat menghasilkan generasi cerdas berkualitas.


GAGASAN


Segala kasus kenakalan remaja beserta permasalahan yang berkecamuk dalam diri remaja itu sendiri maupun yang tampak dimata karena tindakan, disebabkan karena remaja adalah masa peralihan yang didalamnya sedang mengalami krisis identitas. Dalam segala proses ini, didalamnya,  remaja mengalami dan merasakan banyak hal dari dalam dirinya yang menyebabkan berbagai efek pada kehidupan sosialnya baik efek positif maupun negatif. Dalam dirinya mereka mengalami apa yang disebut ketidakstabilan emosi, kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. Mereka umumnya jadi senang bereksperimentasi, senang bereksplorasi, mempunyai banyak fantasi, khayalan dan bualan. Hal tersebut menyebabkan adanya kegelisahan karena banyak hal yang diinginkan namun remaja tidak memiliki cukup kemampuan untuk merealisasikan semuanya. Selain itu ada juga situasi dimana mereka mengalami perasaan kosong karena adanya perombakan pandangan dan petunjuk hidup.[2]
Menurut Kepala Bagian/SMF Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, dr I Nyoman Ratep, mengatakan pihaknya dalam satu hari rata-rata merawat dua remaja yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri. (REPUBLIKA.CO.ID). Hal ini karena remaja belum menemukan jati dirinya, belum tahu visi dan misi hidupnya dan belum bisa mengendalikan emosinya. Pendidikan formal yang hanya mendidik intelektual, tidak sekaligus mendidik emosionalnya dan spritualnya. Akibatnya terjadi ketidaktimpangan mental atau kondisi psikologis yang menimbulkan banyak hal negatif seperti remaja mudah stress dan frustasi dan akhirnya nekat mengakhiri hidupnya hanya karena hal-hal kecil misalkan ditinggal sang kekasih, konflik keluarga, konflik dengan teman, dan lain sebagainya.
Hampir tiap sekolah umumnya, khususnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki badan konseling yang berfungsi sebagai tempat konsultasi para siswa. Tempat siswa menceritakan permasalahan yang dihadapinya, berbagi aspirasi dan mencari solusi. Namun pada kenyataannya, sangat sedikit siswa yang memiliki minat yang tinggi untuk menyempatkan diri berkunjung ke ruang konseling di sekolahnya. Ini terbukti dari hasil wawancara lepas kami dari sepuluh sampel siswa kelas dua SMA Negeri 3 Cilegon, lima orang diantaranya mengaku tidak pernah mengunjungi ruang konseling, empat orang lainnya berkunjung hanya untuk sekedar keperluan akademik, dan satu orang sisanya sering berkunjung ke ruang konseling untuk berkonsultasi masalah pribadi. Dari hasil wawancara lepas tersebut, terbukti bahwa mayoritas siswa remaja yang sebetulnya sangat perlu bimbingan secara psikologis namun mereka tidak menyadari akan kebutuhan itu.
Dan fakta lain pada beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah khususnya di daerah Cilegon, menyisipkan mata pelajaran BK (Badan Konseling) dengan waktu satu jam pada tiap minggunya. Penerapan ini masih belum efektif karena pada tiap pertemuan hanya ada kesempatan satu jam tiap minggunya, itupun tidak berisi ilmu yang berkaitan dengan EQ dan SQ secara mendalam. Bahkan seringkali hanya berisi tentang basa-basi problema hidup yang sederhana yang para remaja cenderung menyepelekan permasalahan tersebut.
Fenomena lain, pada mata pelajaran Agama. Dalam materinya hanya mengajarkan tentang teori ilmu yang bersifat pengetahuan saja namun tidak dengan cara penerapannya sehingga kurang mengetuk hati dan kesadaran semua siswa untuk berusaha mengaplikasikan ilmu tersebut semaksimal mungkin. Mereka cenderung lebih mengejar nilai angka dari ilmu yang mereka dapat.
Dari berbagai fenomena dalam bidang pendidikan tersebut, kami perpendapat bahwa peran sekolah belum begitu efektif dalam upaya membantu pembinaan mental dan karakter remaja dalam masa pencarian jati diri mereka sehingga menyebabkan masih banyaknya kasus kenakalan remaja tersebut. Seperti diantaranya dari contoh kecil, permusuhan dan perkelahian antar kelompok geng dalam sekolah, penindasan, dan pencurian yang ironisnya masih dalam lingkungan sekolah. Ada kasus yang lebih berat lagi seperti pemakaian obat-obatan terlarang. Bahkan bagi siswa putri, tidak sedikit dari mereka yang sudah tidak perawan. 66% remaja putri usia sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) tidak lagi perawan. Data ini beradasar hasil Survei Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang dilakukan secara nasional.[3] Bahkan beberapa dari mereka terjebak dalam praktek prostitusi yang dalam perdagangannya menggunakan media jejaring sosial.[4] Itu semua disebabkan karena kurang adanya bimbingan secara emosional dan spiritual bagi mereka yang sedang mencari jati diri. Mereka kurang mengerti bagaimana dan kemana mereka harus melangkah. Dan ironisnya, tak jarang juga dari mereka yang tidak sadar kalau mereka perlu bimbingan tersebut.
Karena itu, pengarahan harus dimulai dari awal tumbuhnya jiwa remaja mereka. Pendidikan akan EQ dan SQ perlu ditanamkan dari dasar jiwa masing-masing individu. Kemudian diarahkan menuju pencapaian jati diri dengan menghasilkan karakter yang kuat dan berkualitas. Upaya pengarahan tersebut dapat lebih efektif dari metode-metode yang sebelumnya pernah dijalankan dengan menjadikan pendidikan ESQ diterapkan dalam Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas secara rutin tiap minggunya. Pendidikan ESQ dijadikan sebagai santapan wajib seperti halnya mata pelajaran lainnya.
Sebagai implementasinya, pertama dengan melatih guru-guru BP/BK dilatih agar bisa menguasai materi-materi ESQ. Dari hasil latihannya, selanjutnya dibuat slide-slide materi ESQ yang berdasarkan silabus disertai variasi gambar yang mendukung materi. Proses pembelajarannya juga sambil diiringi musik instrument yang dapat mempengaruhi suasana hati para peserta didik sehingga mereka dapat lebih meresapi ilmu yang disampaikan. Dalam mata kuliah inipun guru BP/BK membuat rapor atau lembaran evaluasi yang berisi berapa kali siswa berbohong, berapa kali siswa membentak orang tua, berapa kali siswa meninggalkan ibadah, dan lain-lain.
Untuk merealisasikan hal tersebut perlu adanya dukungan yang kuat dari pihak orang tua dan pengajar sekaligus pendidik serta kemauan dari masing-masing anak didik. Dan untuk tenaga pendidik ESQ diperlukan tenaga khusus yang ahli dalam pemahaman ESQ.


KESIMPULAN


Remaja adalah masa pertumbuhan ketiga yang dialami oleh manusia dalam kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga tua atau dewasa. Masa remaja menjadi pembatas antara masa kanak-kanak dengan masa pemuda. Remaja memiliki perasaan yang sensitif dan cepat tersentuh. (Syahid M. Az-za’balawi, 2007:2)
Pada masa ini, remaja mengalami krisis identitas atau pencarian identitas, proses pertangguhan dan pencapaian karakter. Dalam segala proses ini, didalamnya,  remaja mengalami dan merasakan banyak hal dari dalam dirinya yang menyebabkan berbagai efek pada kehidupan sosialnya baik efek positif maupun negatif. Dalam dirinya mereka mengalami apa yang disebut ketidakstabilan emosi, kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. Mereka umumnya jadi senang bereksperimentasi, senang bereksplorasi, mempunyai banyak fantasi, khayalan dan bualan.
Berbagai kasus-kasus kenakalan remaja seperti premanisme, tawuran, narkoba, sek bebas, minum-minuman keras, Aborsi, bunuh diri, dan lain sebagainya sangat meresahkan orang tua pada khususnya dan  masyarakat pada umumnya. Orang tua  menitipkan anaknya di sekolah-sekolah berharap agar anaknya berprilaku dengan baik dan sopan santun, tapi harapan itu sia-sia kalau sistem pendidikan masih memprioritasan pendidikan Intellektual (IQ) sedangkan pendidikan Emosi dan spritual kurang di perhatikan bahkan di abaikan begitu saja.
Pendidikan karakter berbasis ESQ adalah solusi yang tepat untuk menyeimbangkan ketiga kecerdasan terutama jika diaplikasikan menjadi mata pelajaran wajib pada tiap Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Materi-materi pelajaran pendidikan karakter dikemas dalam bentuk silabus layaknya mata pelajaran lainnya. Dalam mata pelajaran pendidikan karakter ini pun dibuat buku evaluasi yang berisi data kelakuan buruk seperti  berapa kali siswa berbohong, berapa kali siswa membentak orang tua, berapa kali siswa meninggalkan ibadah, dan lain-lain yang diisi oleh siswa itu sendiri. Dari pengisian buku evaluasi sikap milik para murid tersebut dapat mempengaruhi mental mereka dalam proses pembentukan karakternya.
Sedangkan untuk pengembangan tenaga pengajar mata pelajaran pendidikan karakter, guru-guru BP/BK dilatih agar bisa menguasai materi-materi ESQ. Dari hasil latihannya, selanjutnya dibuat slide-slide materi ESQ yang berdasarkan silabus disertai variasi gambar yang mendukung materi. Proses pembelajarannya juga sambil diiringi musik instrument yang dapat mempengaruhi suasana hati para peserta didik sehingga mereka dapat lebih meresapi ilmu yang disampaikan.
 Pendidikan ini dilaksanakan dua kali pertemuan tiap minggunya. Pertemuan pertama berlangsung selama 45 menit dimana sebagian besar adalah penyuluhan berbentuk teori dan pertemuan kedua berlangsung selama 120 menit untuk memberi kesempatan luas proses belajar dalam bentuk praktek. Dan dengan adanya penambahan mata pelajaran ini, diharapkan jam sekolah diperpanjang hingga sore dengan pertimbangan selain memberikan cukup waktu untuk mata pelajaran Pendidikan Karakter juga menjadikan sebagian besar aktivitas siswa berada di lingkungan sekolah sehingga aktivitas mereka dapat lebih terpantau karena ketika jam sekolah berakhir, tidak menjadi jaminan bahwa aktivitas mereka terpantau oleh orang tua.
Dari jabaran gagasan ini, diharapkan akan menjadi suatu solusi alternatif dalam mengurangi bahkan memberantas tindak kenakalan remaja. Dengan pendidikan karakter berbasis ESQ ini pula diharapkan Indonesia dapat melahirkan generasi yang berpikiran matang, bertanggung jawab, agamis, cerdas berintelektual dan berkualitas tinggi di era yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA


Az-Za’Balawi M. Syahid.  2007. Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa.  Gema Insani Press.  Jakarta.
Ginanjar A. Ari.  2003. Rahasia Sukses membangun kecerdasan emosi dan spritual.  Arga.  Jakarta.

http://www.google.co.id/imglanding?q=IQ,+EQ+dan+SQ&um




[1] Sumber :  http://netsains.com/2009/04/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahannya/
[2] Sumber :  http://netsains.com/2009/04/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahannya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar